Urgensi Revisi UU SPPA: Mewujudkan Lingkungan Aman dan Tindakan Hukum yang Adil bagi Anak-anak

Dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan kasus pidana yang melibatkan anak sebagai pelaku menunjukkan fakta bahwa sistem hukum Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan antara perlindungan anak dan efek jera terhadap perilaku menyimpang. Dalam konteks ini, revisi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menjadi sangat mendesak untuk diwujudkan.

UU SPPA dan Dilema Penegakan Hukum

Sebagai regulasi yang mengatur tata cara hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), UU SPPA mengedepankan prinsip restorative justice dan diversi sebagai solusi utama. Namun, pendekatan yang terlalu lunak dalam kasus-kasus berat seperti pelecehan seksual, penganiayaan, dan kekerasan berencana justru memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana efektivitas UU SPPA mampu menjadi alat preventif dan represif sekaligus?

Beberapa kasus terbaru, seperti insiden di Denpasar, Bekasi, dan Palembang, menunjukkan adanya kekosongan hukum praktis di mana anak-anak yang menjadi pelaku tidak mendapatkan efek jera yang memadai, bahkan potensi pengulangan tindak pidana (residivisme) tetap tinggi. Hal ini membuat publik mendesak adanya penyesuaian norma terhadap perkembangan zaman dan karakteristik kejahatan anak saat ini.

Legal Opinion: Pelajaran Penting dari Juvenile Justice untuk Reformasi UU SPPA

Serial drama Korea Juvenile Justice (2022) menggambarkan dilema nyata dalam sistem peradilan anak: antara prinsip perlindungan terhadap pelaku anak dan tanggung jawab moral untuk melindungi masyarakat serta korban. Melalui tokoh Sim Eun-seok, seorang hakim yang awalnya sangat keras terhadap pelaku anak, drama ini memperlihatkan nuansa psikologis, sosial, dan hukum yang kompleks dalam perkara pidana anak.

Berdasarkan drama tersebut, ada sejumlah pelajaran penting yang relevan secara hukum untuk Indonesia, khususnya dalam konteks urgensi revisi UU SPPA:

1. Tidak Semua Perkara Anak Layak Diselesaikan Lewat Diversi

Dalam Juvenile Justice, banyak kasus kekerasan berat—termasuk pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan—dilakukan oleh anak-anak dengan tingkat perencanaan tinggi dan minim penyesalan. Di Indonesia, ketentuan Pasal 7 UU SPPA mensyaratkan diversi untuk kasus dengan ancaman pidana di bawah 7 tahun. Namun, tidak semua kasus kekerasan anak ringan secara substansi. Banyak pelaku anak menunjukkan pola manipulatif dan predatorik, yang semestinya diproses secara formal tanpa penghilangan akuntabilitas.

2. Kebutuhan Asesmen Psikologis dan Sosial yang Lebih Ketat

Dalam serial tersebut, hakim tidak hanya bergantung pada laporan kepolisian, tetapi juga meminta asesmen dari psikolog anak, pakar kriminologi, dan data sosial. Ini penting untuk menentukan apakah seorang anak masih bisa direhabilitasi, ataukah menunjukkan kecenderungan antisosial berbahaya.

Di Indonesia, asesmen psikologis belum menjadi mandat wajib dalam setiap tahap perkara anak. Ini membuat pendekatan “restoratif” rentan tidak proporsional, karena tak berdasar pada profil kepribadian yang memadai.

3. Restorative Justice Tidak Boleh Mengorbankan Hak Korban

Juvenile Justice juga menyoroti bagaimana sistem terlalu fokus pada pelaku anak, sementara korban—yang sering juga anak-anak—tidak mendapat pendampingan, keadilan, atau penyembuhan. Di Indonesia, proses diversi jarang melibatkan korban atau keluarganya secara aktif, dan tidak ada kewajiban restitusi atau permintaan maaf yang memadai.

4. Hakim Perlu Kebebasan Diskresi untuk Mengevaluasi Karakter Pelaku Anak

Dalam drama tersebut, Sim Eun-seok sering menolak opsi pembebasan atau rehabilitasi jika pelaku menunjukkan tanda kecenderungan patologis atau mengulang kejahatan. Ia memutus berdasarkan rekam jejak dan risiko sosial, bukan semata usia.

Dalam praktik hukum Indonesia, banyak hakim merasa dibatasi oleh norma SPPA yang terlalu lunak, bahkan pada kasus residivis anak. Ini menimbulkan ketidakadilan substantif.

5. Tanggung Jawab Orang Tua dan Institusi Lingkungan

Juvenile Justice menyoroti pentingnya lingkungan rumah dan sekolah dalam membentuk perilaku anak. Banyak anak pelaku berasal dari rumah penuh kekerasan atau sekolah yang lalai. Sistem hukum Korea dalam drama bahkan memanggil orang tua untuk dimintai pertanggungjawaban moral.

Di Indonesia, UU SPPA belum memberi peran aktif kepada orang tua, baik sebagai subjek pendamping atau sebagai pihak bertanggung jawab sosial.

Legal Opinion: Evaluasi UU SPPA dalam Perspektif Norma dan Realita Sosial

Berdasarkan Pasal 3 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), sistem peradilan anak bertujuan untuk:

  • Melindungi anak yang berhadapan dengan hukum,
  • Mencegah anak dari sistem pemidanaan formal,
  • Menjamin tumbuh kembang anak secara optimal.

Pendekatan yang digunakan adalah keadilan restoratif melalui diversi (Pasal 6 s.d. Pasal 15). Diversi menjadi wajib jika:

  • Anak didakwa dengan pidana di bawah 7 tahun, dan
  • Bukan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 ayat 2).

Namun dalam praktiknya, terdapat sejumlah realitas yang mencuat:

Realita 1: Penyimpangan Norma Diversi dalam Kasus Kekerasan Berat

Banyak perkara anak yang dilaporkan masyarakat—terutama kekerasan seksual dan bullying berencana—terhenti di tahap diversi karena ancaman pidana secara formal di bawah 7 tahun, meskipun secara substansi sangat berat dan menimbulkan trauma mendalam pada korban.

Contoh nyata:

  • Kasus di Palembang (2024) dan Bekasi (2025), di mana pelaku anak tetap diproses dengan diversi meskipun korban mengalami kekerasan seksual berulang.
  • Keluarga korban kerap mengeluhkan minimnya ruang untuk menyuarakan keadilan, karena diversi dilakukan tertutup dan tanpa pengaruh putusan publik.

Realita 2: Tidak Adanya Standar Nasional untuk Penilaian Psikologis

UU SPPA mengatur secara umum bahwa penyidik, jaksa, dan hakim wajib mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 3 huruf a). Namun, tidak ada ketentuan eksplisit tentang mandatory psychological assessment untuk pelaku anak. Akibatnya:

  • Banyak pelaku anak dengan kecenderungan antisosial atau residivis tetap diproses dengan pendekatan lunak,
  • Tidak ada instrumen hukum baku yang mengukur kapasitas moral pelaku anak—padahal ini penting untuk membedakan antara anak yang “khilaf” dan anak yang “berbahaya secara berulang”.

Realita 3: Korban Diabaikan dalam Proses Diversi

UU SPPA mengatur bahwa korban dapat dilibatkan dalam diversi (Pasal 9), tetapi tidak ada kewajiban keterlibatan aktif korban dan keluarganya. Dalam praktiknya:

  • Proses diversi sering dilakukan hanya antara pelaku, jaksa, dan pembimbing kemasyarakatan (Bapas), tanpa keterlibatan korban.
  • Akibatnya, terjadi re-viktimisasi terhadap korban anak, yang merasa kasusnya “ditutupi” atau dianggap tidak penting secara hukum.

Realita 4: Minimnya Efek Jera dan Kontrol Sosial

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tingkat pengulangan tindak pidana anak (residivisme) meningkat, terutama dalam kasus kekerasan kelompok dan kejahatan seksual digital. Banyak masyarakat menganggap bahwa:

  • Sistem SPPA saat ini terlalu fokus pada perlindungan pelaku,
  • Tidak memberikan efek jera,
  • Dan tidak mendorong transformasi perilaku secara tuntas, karena program pembinaan belum merata.

Indonesia Emas 2045: Kepedulian terhadap Masa Depan Anak

  • Jika kita ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045—sebuah era di mana generasi muda menjadi pilar utama pembangunan—maka membentuk lingkungan yang aman dan mendidik bagi anak-anak adalah keniscayaan. Peraturan hukum harus menjadi tulang punggung transformasi sosial, bukan sekadar simbol perlindungan normatif.
  • Revisi UU SPPA bukan hanya soal menghukum anak, tetapi soal menciptakan generasi yang sadar hukum, berempati, dan tumbuh dalam lingkungan yang memulihkan—baik untuk pelaku maupun korban.

Penutup: Peran Werkudoro & Partners dalam Transformasi Hukum Anak

  • Di tengah kompleksitas sistem hukum yang melibatkan anak-anak, Werkudoro & Partners Law Firm hadir sebagai firma hukum yang tak hanya menangani kasus dengan pendekatan profesional, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai perlindungan anak dan keadilan yang berimbang. Melalui layanan legal opinion, pendampingan hukum anak, serta edukasi hukum preventif, kami berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi dalam membentuk sistem hukum Indonesia yang lebih peduli dan progresif.
  • Jika Anda atau institusi Anda membutuhkan panduan hukum atau strategi penanganan anak dalam sistem hukum, Werkudoro & Partners siap menjadi mitra strategis yang andal dan solutif.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top