Putusan MK: Pemerintah dan Korporasi Dilarang Ajukan Gugatan Pencemaran Nama Baik

Pendahuluan

Dalam perkembangan hukum Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mencatatkan langkah penting dalam menjamin kebebasan berekspresi dan membatasi penyalahgunaan kekuasaan hukum oleh entitas besar. Pada Mei 2024, MK mengeluarkan putusan yang menegaskan bahwa pemerintah dan korporasi tidak dapat mengajukan gugatan pencemaran nama baik, baik dalam ranah pidana maupun perdata.

Putusan ini menjadi sorotan publik dan komunitas hukum karena berimplikasi langsung terhadap praktik hukum selama ini, terutama berkaitan dengan kasus-kasus Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) yang sering digunakan untuk membungkam kritik dan suara-suara masyarakat sipil.

Latar Belakang Putusan

Putusan MK ini bermula dari permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Para pemohon terdiri dari aktivis lingkungan, jurnalis, dan masyarakat sipil yang kerap menjadi target gugatan hukum dari korporasi atau pejabat pemerintah ketika menyuarakan kritik atau fakta-fakta yang tidak mengenakkan.

Dalam praktiknya, gugatan pencemaran nama baik sering digunakan sebagai alat represif untuk menakut-nakuti warga yang menyampaikan pendapatnya. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 28E dan Pasal 28F yang menjamin kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi.

Isi dan Pokok Putusan

Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa:

“Entitas non-persona seperti pemerintah dan korporasi bukanlah subjek hukum yang memiliki kehormatan atau nama baik sebagaimana dimaksud dalam pasal penghinaan. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menjadi pihak penggugat dalam perkara pencemaran nama baik.”

Dengan putusan ini, Mahkamah Konstitusi menghapus legitimasi hukum bagi pemerintah atau perusahaan untuk menuntut individu atau kelompok masyarakat yang mengkritik atau membongkar praktik menyimpang, asalkan kritik tersebut dilakukan dalam kerangka kepentingan publik dan berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.

Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024

Mahkamah Konstitusi dalam putusan Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Selasa (29/4/2025) melarang lembaga pemerintah, institusi, korporasi, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, serta profesi atau jabatan untuk mengadukan dugaan pencemaran nama baik.

Alasan dan Pertimbangan MK

MK memberikan beberapa alasan utama atas putusan tersebut:

  1. Kritik terhadap pemerintah dan korporasi adalah bagian dari kontrol publik.
    Pemerintah sebagai entitas publik harus tunduk pada pengawasan rakyat. Demikian pula korporasi yang beroperasi di ruang publik harus terbuka terhadap pengawasan, terutama jika berpotensi mencemari lingkungan atau melanggar hak masyarakat.
  2. Pemerintah dan korporasi bukan subjek hukum yang memiliki ‘perasaan’ atau ‘kehormatan pribadi’.
    Konsep pencemaran nama baik lahir dari perlindungan atas harkat dan martabat individu. Entitas hukum seperti negara atau badan usaha tidak memiliki martabat dalam pengertian personal, sehingga tidak dapat mengklaim kehormatan yang dilindungi oleh pasal pencemaran nama baik.
  3. Perlindungan hukum tetap tersedia melalui hak jawab atau klarifikasi.
    Jika merasa dirugikan oleh pemberitaan atau pernyataan publik, pemerintah dan perusahaan masih dapat menggunakan hak jawab atau hak klarifikasi melalui media massa atau forum publik lainnya.

Dampak dan Implikasi Hukum

Putusan ini memiliki konsekuensi luas, baik dalam praktik hukum maupun dalam konteks demokrasi:

  • Meningkatkan perlindungan terhadap aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil.
    Mereka kini memiliki landasan hukum yang lebih kuat untuk menyuarakan kritik tanpa khawatir dikriminalisasi atau digugat secara perdata oleh pihak berkuasa atau pemodal besar.
  • Mengurangi praktik SLAPP.
    Banyak kasus SLAPP sebelumnya diajukan oleh perusahaan tambang, perkebunan, atau pejabat daerah terhadap warga yang menolak proyek atau mengkritik kebijakan. Dengan putusan ini, praktik tersebut kehilangan legitimasi hukum.
  • Menguatkan fungsi pers dan kebebasan berekspresi.

Wartawan dan media kini lebih leluasa menginvestigasi dan mengkritik tanpa tekanan hukum yang berasal dari gugatan pencemaran nama baik oleh institusi.

Namun, penting untuk dicatat bahwa individu pejabat atau direktur perusahaan masih dapat mengajukan gugatan secara pribadi, jika merasa nama baik pribadinya diserang. Tetapi mereka tidak bisa membawa nama institusi sebagai subjek yang tercemar.

Tanggapan Publik dan Akademisi

Putusan MK ini disambut baik oleh organisasi masyarakat sipil seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), WALHI, dan AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Mereka menyatakan bahwa ini adalah kemenangan penting bagi demokrasi dan kebebasan sipil.

Di sisi lain, beberapa pihak dari kalangan birokrasi dan pengusaha menanggapi dengan kekhawatiran. Mereka berpendapat bahwa putusan ini dapat memicu “kebebasan yang kebablasan”, di mana siapa pun bisa seenaknya menyebarkan tuduhan terhadap institusi tanpa konsekuensi hukum.

Namun, MK dalam pertimbangannya menekankan bahwa kritik atau tuduhan yang tidak berdasar tetap bisa dituntut jika dilakukan oleh perseorangan terhadap perseorangan. Adapun pengawasan terhadap informasi bohong (hoaks) masih diatur dalam UU ITE dan KUHP, selama ditujukan kepada individu.

Kesimpulan

Putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang pemerintah dan korporasi mengajukan gugatan pencemaran nama baik merupakan tonggak penting dalam perkembangan hukum Indonesia. Putusan ini mempertegas bahwa ruang publik harus dilindungi dari dominasi kekuasaan yang sewenang-wenang, dan bahwa kritik serta partisipasi masyarakat adalah pilar demokrasi yang tidak boleh dibungkam oleh alat hukum.

Masyarakat kini memiliki ruang yang lebih aman untuk bersuara, sementara pemerintah dan korporasi dituntut untuk menjawab kritik dengan transparansi, bukan represi. Inilah wajah hukum yang berpihak kepada rakyat, hukum yang melayani keadilan, bukan kekuasaan.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top