Korupsi PT Timah dan AMDAL: Ketika Kerusakan Lingkungan Bernilai Rp 271 Triliun

Pendahuluan

Kasus korupsi PT Timah Tbk yang mencuat ke permukaan pada tahun 2024 bukan sekadar urusan keuangan negara. Lebih dari itu, kasus ini mengungkap bagaimana praktik koruptif dalam sektor pertambangan dapat menimbulkan bencana ekologis dengan nilai kerugian yang mencapai ratusan triliun rupiah.

Dengan kerugian lingkungan yang dihitung mencapai Rp271,069 triliun, kasus ini memperlihatkan betapa lemahnya tata kelola sektor ekstraktif di Indonesia, khususnya dalam penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Gambaran Umum Kasus Korupsi PT Timah

Kejaksaan Agung menetapkan Helena Lin dan Harvey Moeis sebagai tersangka dalam kasus korupsi di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk pada periode 2015–2022. Namun, jejak kasus ini sebenarnya jauh lebih luas dan melibatkan berbagai pihak dalam mata rantai tata niaga timah.

Mantan Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono dituntut 8 tahun penjara karena diyakini melakukan korupsi secara bersama-sama terkait tata kelola timah yang merugikan negara Rp 300 triliun. Angka kerugian yang terus bertambah ini menunjukkan kompleksitas dan besarnya dampak yang ditimbulkan.

Para Aktor dan Modus Operandi

Kasus ini melibatkan berbagai pihak mulai dari pejabat pemerintah, pengusaha, hingga oknum di perusahaan tambang. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis eks Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung periode 2021-2024, Amir Syahbana dengan hukuman empat tahun penjara dalam kasus korupsi tata niaga pengelolaan timah.

Modus yang digunakan umumnya melibatkan manipulasi perizinan, pengabaian prosedur AMDAL, dan pemberian izin kepada penambang ilegal yang beroperasi di wilayah konservasi.

AMDAL: Garda Terdepan yang Terkompromikan

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seharusnya menjadi instrumen utama untuk mencegah kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan. Namun, dalam kasus PT Timah, sistem ini justru menjadi bagian dari problem.

Lemahnya Implementasi AMDAL

Terungkapnya praktik suap demi memuluskan perizinan pembangunan merupakan puncak gunung es dari buruknya penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan. Hal serupa terjadi dalam sektor pertambangan timah, di mana AMDAL sering kali hanya menjadi formalitas administratif.

Meski merugikan negara, PT Timah bahkan mendapat penilaian baik dari KLHK, yang menunjukkan adanya disconnect antara penilaian formal dan realitas di lapangan.

Korupsi dalam Proses AMDAL

Kajian KPK tahun 2013 dan 2015 menunjukkan bahwa perusahaan penyusun AMDAL hampir selalu mendapat pengesahan studinya melalui suap. Praktik ini menciptakan lingkaran setan di mana:

1. Studi AMDAL menjadi tidak objektif – Disesuaikan dengan kepentingan pemohon izin

2. Pengawasan lemah- Monitoring pasca-izin sering diabaikan

3. Sanksi tidak efektif – Pelanggaran AMDAL jarang ditindak tegas

Skala Kerusakan Lingkungan yang Mengejutkan Kerugian Rp 271 Triliun: Bukan Sekadar Angka

Ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo memaparkan bahwa kerugian kerusakan hutan di Bangka Belitung sebesar Rp271 triliun merupakan perhitungan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan.

Rincian kerugian ini terdiri dari:

– Kerugian ekologi Rp 183,703 triliun

– Kerugian ekonomi lingkungan yang tidak kalah besar

Dampak Konkret di Lapangan

Dalam kurun waktu dua tahun (2015-2017), sekitar 64.514 hektar terumbu karang di Bangka Belitung hilang. Kerusakan ini belum termasuk:

– Ribuan kolong bekas tambang yang mencemari air tanah

– Hilangnya biodiversitas laut dan darat

– 38 orang meninggal dan 22 orang luka-luka akibat kecelakaan tambang dalam periode 2021-2024

Salah Kaprah dalam Pemahaman Kerugian

Penting untuk dipahami bahwa angka kerugian Rp271 triliun bukanlah total uang yang dikorupsikan, melainkan estimasi kerugian lingkungan. Kesalahpahaman ini sering terjadi dalam pemberitaan dan diskusi publik.

Kegagalan Tata Kelola Sektor Ekstraktif

Kasus korupsi PT Timah menunjukkan tata kelola yang buruk di sektor ekstraktif, yang mencakup:

1. Lemahnya koordinasi antar-instansi – KLHK, ESDM, dan Kejaksaan tidak sinkron

2. Sistem perizinan yang korup – AMDAL menjadi ajang rent-seeking

3. Pengawasan yang tidak efektif – Monitoring lingkungan diabaikan

Dampak Jangka Panjang

Kerugian sebesar Rp271 triliun menunjukkan bagaimana sumber daya alam yang seharusnya menjadi aset bersama telah dirampas oleh tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab.

Dampak jangka panjangnya meliputi:

– Degradasi ekosistem permanen – Beberapa kerusakan tidak dapat dipulihkan

– Krisis air bersih – Kolong tambang mencemari akuifer

– Hilangnya mata pencaharian masyarakat* – Nelayan dan petani kehilangan sumber penghasilan

Rekomendasi dan Jalan ke Depan Reformasi Sistem AMDAL

1. Digitalisasi dan transparansi* – Semua dokumen AMDAL harus dapat diakses publik

2. Audit independen – Melibatkan pihak ketiga yang kredibel

3. Sanksi progresif – Mulai dari denda hingga pencabutan izin

Penguatan Pengawasan

1. Monitoring real-time – Menggunakan teknologi satelit dan IoT

2.Partisipasi masyarakat- Melibatkan komunitas lokal dalam pengawasan

3.Koordinasi multi-stakeholder – Sinergi antara pemerintah, swasta, dan civil society

Pemulihan Lingkungan

1. Dana pemulihan khusus – Dari hasil penyitaan aset koruptor

2. Rehabilitasi ekosistem – Program jangka panjang untuk memulihkan fungsi lingkungan

3. Kompensasi masyarakat – Untuk kerugian yang dialami komunitas lokal

Kesimpulan

Kasus korupsi PT Timah dengan kerugian lingkungan Rp 271 triliun menjadi pembelajaran berharga tentang pentingnya integritas dalam tata kelola sumber daya alam. AMDAL yang seharusnya menjadi pelindung lingkungan justru menjadi instrumen yang dikorupsi untuk melanggengkan kerusakan.

Tanpa reformasi menyeluruh dalam sistem perizinan, penguatan AMDAL, dan penegakan hukum yang konsisten, tragedi serupa akan terus berulang. Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa, namun jika tidak dikelola dengan integritas, warisan untuk generasi mendatang hanyalah tanah rusak dan air tercemar.

kasus ini mengingatkan kita bahwa korupsi bukan sekadar soal uang yang hilang, tetapi juga tentang masa depan planet yang dirampok. Saatnya untuk bertindak lebih tegas sebelum terlambat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top