Ekstradisi Paulus Tannos: Ujian Nyata Penerapan UU Ekstradisi dan Kerja Sama Indonesia–Singapura

Kasus ekstradisi Paulus Tannos menjadi sorotan publik sebagai bukti nyata penerapan hukum internasional dalam pemberantasan korupsi lintas negara. Tannos, yang menjadi salah satu tersangka utama dalam kasus mega korupsi e-KTP, ditangkap di Singapura pada Januari 2025 dan kini tengah menjalani proses ekstradisi ke Indonesia. Artikel ini membahas perkembangan kasus Tannos dari perspektif hukum, terutama penerapan UU No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, serta Perjanjian Ekstradisi terbaru antara Indonesia dan Singapura.

Siapa Paulus Tannos?

Paulus Tannos adalah mantan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, salah satu perusahaan yang ikut dalam konsorsium proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Ia diduga kuat berperan dalam penggelembungan anggaran dan pembagian jatah fee kepada pejabat. Setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Tannos melarikan diri ke luar negeri dan masuk dalam daftar buronan (DPO) sejak 2021.

Penangkapan dan Proses Ekstradisi Paulus Tannos

Pada 17 Januari 2025, otoritas Singapura menangkap Tannos atas permintaan resmi Pemerintah Indonesia. Ini menjadi kasus pertama yang menggunakan Perjanjian Ekstradisi Indonesia–Singapura yang ditandatangani pada 25 Januari 2022 dan disahkan pada 2023.

Pemerintah Indonesia secara resmi mengajukan permohonan ekstradisi pada 20 Februari 2025 melalui jalur diplomatik, dengan penguatan dokumen pada 23 April 2025. Sidang pendahuluan ekstradisi, dikenal dengan sebutan committal hearing dijadwalkan berlangsung pada 23–25 Juni 2025 di Pengadilan Negeri Singapura.

Dasar Hukum Ekstradisi Paulus Tannos

Proses ekstradisi ini berpijak pada sejumlah regulasi, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi

UU ini mengatur prosedur permintaan ekstradisi oleh negara lain maupun dari Indonesia, termasuk syarat-syarat seperti:

  • Asas double criminality (tindak pidana harus diakui di kedua negara)
  • Tersedianya perjanjian atau prinsip timbal balik
  • Perlindungan terhadap hak asasi manusia (misalnya, tidak diekstradisi untuk kejahatan politik)

2. Perjanjian Ekstradisi Indonesia–Singapura 2022

Perjanjian ini menghapus hambatan ekstradisi antara kedua negara yang sebelumnya tertunda selama lebih dari satu dekade. Di dalamnya diatur:

  • Daftar kejahatan yang dapat diekstradisi (termasuk korupsi dan pencucian uang)
  • Mekanisme permohonan dan pengadilan
  • Perlindungan terhadap tersangka

3. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Karena Tannos juga diduga melakukan pencucian uang dari hasil korupsi e-KTP, pasal-pasal dalam UU ini memperkuat argumen hukum untuk ekstradisinya.

Upaya Penolakan Paulus Tannos

Meskipun ditangkap, Tannos menolak untuk diekstradisi dan mengajukan permohonan penangguhan penahanan ke pengadilan Singapura. Namun, Kementerian Hukum dan HAM RI telah meminta otoritas Singapura menolak permintaan tersebut karena berpotensi menghambat proses hukum.

Signifikansi Kasus Ini bagi Indonesia

Kasus Paulus Tannos menjadi preseden penting dalam penegakan hukum lintas batas negara. Ini membuktikan bahwa perjanjian bilateral dan instrumen hukum internasional dapat diimplementasikan secara konkret. Selain itu, keberhasilan ekstradisi ini akan memperkuat upaya KPK dalam menyelesaikan skandal korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.

Kesimpulan

Ekstradisi Paulus Tannos adalah ujian nyata atas komitmen hukum Indonesia dalam memberantas korupsi. Dengan dasar hukum kuat seperti UU Ekstradisi 1979, Perjanjian Ekstradisi 2022, dan dukungan KPK, pemerintah menunjukkan bahwa pelaku korupsi tidak akan bebas meskipun melarikan diri ke luar negeri. Proses ekstradisi ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal kedaulatan, keadilan, dan kepercayaan publik.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top