Asas Debt Forgiveness dalam Hukum Kepailitan: Analisis Konseptual dan Praktik di Indonesia

Pendahuluan

Dalam konteks hukum kepailitan, terdapat prinsip-prinsip penting yang bertujuan melindungi baik kepentingan debitur maupun kreditur. Salah satu asas yang mendapat perhatian khusus dalam dinamika kepailitan modern adalah asas Debt Forgiveness, yaitu asas yang mengarah pada pengampunan atau penghapusan utang secara penuh atau sebagian terhadap debitur yang tidak mampu membayar utangnya. Artikel ini akan membahas dasar hukum, implementasi, dan urgensi asas Debt Forgiveness dalam sistem hukum kepailitan Indonesia, serta menyertakan pendapat hukum dari Werkudoro & Partner Law Firm sebagai bagian dari analisis praktik.

1. Konsep Asas Debt Forgiveness

Asas Debt Forgiveness atau pengampunan utang merupakan prinsip di mana sebagian atau seluruh utang debitur yang tidak mampu bayar dapat dihapuskan atas dasar keadilan, kemanusiaan, atau pertimbangan rasional ekonomi. Asas ini lebih dikenal di yurisdiksi yang mengedepankan prinsip fresh start seperti di Amerika Serikat melalui sistem bankruptcy discharge.

Di Indonesia, sistem hukum kepailitan masih berlandaskan pada asas paritas kreditor (equal treatment of creditors) yang dituangkan dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Namun, dalam praktik, gagasan Debt Forgiveness dapat dimanifestasikan melalui mekanisme perdamaian (homologasi) dalam PKPU, di mana kreditur menyetujui pengurangan atau penghapusan sebagian kewajiban utang.

2. Landasan Hukum dan Implementasi di Indonesia

UU Kepailitan di Indonesia belum secara eksplisit mengatur tentang penghapusan utang (debt forgiveness) secara penuh pasca putusan pailit. Namun, beberapa pasal yang membuka ruang untuk prinsip ini antara lain:
– Pasal 222 UU 37/2004, yang menyatakan bahwa debitur dapat mengajukan PKPU agar dapat mencapai kesepakatan perdamaian dengan krediturnya.
– Pasal 281 UU 37/2004, yang memungkinkan homologasi atas rencana perdamaian termasuk pengurangan atau penghapusan utang yang disetujui mayoritas kreditur.

3. Contoh Kasus Asas Debt Forgiveness dalam Kepailitan

Kasus Fiktif: PT Sumber Energi Lestari (SEL)

Latar Belakang:
PT Sumber Energi Lestari (SEL) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang energi terbarukan. Karena kegagalan proyek dan krisis finansial akibat pandemi, PT SEL tidak mampu membayar kewajiban utang jatuh tempo kepada para kreditornya, termasuk Bank ABC dan PT Mitra Teknik.

Pada tahun 2024, PT Mitra Teknik mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta karena utang yang tidak terbayar sebesar Rp25 miliar. Permohonan dikabulkan, dan PT SEL dinyatakan pailit.

Proses Kepailitan:

Setelah dinyatakan pailit:

  • Kurator diangkat untuk menghimpun seluruh harta debitor dan mencatat tagihan para kreditur.
  • Selama proses insolvensi, dilakukan rapat kreditur untuk merumuskan langkah penyelesaian: opsi likuidasi atau composition plan (penawaran perdamaian).

Penerapan Asas Debt Forgiveness:

Dalam rapat kreditur, PT SEL mengajukan proposal composition plan dengan skema berikut:

  • Membayar hanya 50% dari total utang kepada seluruh kreditur konkuren.
  • Pembayaran dilakukan secara bertahap selama 3 tahun.
  • Kreditur yang menyetujui skema ini wajib menandatangani pernyataan melepaskan haknya atas sisa 50% dari utang, sehingga dianggap “dihapuskan” (forgiven).

Mayoritas kreditur (lebih dari 2/3 suara) setuju atas proposal ini. Maka berdasarkan Pasal 281 UU Kepailitan dan PKPU, perdamaian tersebut mengikat semua pihak, dan PT SEL keluar dari status pailit.

Analisis:

Asas debt forgiveness tercermin ketika para kreditur secara hukum dan sukarela melepaskan hak tagih atas sebagian utangnya, sebagai bagian dari mekanisme restrukturisasi utang. Asas ini menunjukkan bahwa dalam hukum kepailitan, utang tidak selalu harus dibayar 100%—melainkan bisa dinegosiasikan dan dimaafkan secara kolektif demi tujuan akhir: pemulihan usaha dan penghindaran likuidasi.

Dalam konteks ini, Debt Forgiveness tidak terjadi secara otomatis melainkan sebagai hasil negosiasi dan persetujuan para pihak.

4. Pandangan Werkudoro & Partner Law Firm

Menurut Werkudoro & Partner Law Firm, sebuah firma hukum yang dikenal menangani berbagai kasus kepailitan strategis, berikut adalah pendapat hukum mereka:

“Asas Debt Forgiveness memang belum menjadi prinsip eksplisit dalam sistem hukum Indonesia. Namun, kami menilai bahwa substansinya mulai berkembang dalam praktik PKPU, khususnya dalam rencana perdamaian yang mencerminkan prinsip keadilan restoratif terhadap debitur yang bersikap kooperatif dan memiliki itikad baik. Kami mendorong agar pengaturan ini diberi dasar hukum yang lebih jelas dalam revisi UU Kepailitan, sebagai bentuk modernisasi hukum insolvency nasional.”

Lebih lanjut, mereka menekankan:

“Bagi klien-klien kami yang bergerak di sektor riil dan terkena dampak krisis ekonomi, skema debt restructuring dan pengurangan utang dalam PKPU sering kali menjadi satu-satunya cara untuk mempertahankan keberlangsungan usaha. Ini menjadi sangat krusial dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional.”

5. Urgensi dan Tantangan Penerapan Debt Forgiveness

Penerapan asas Debt Forgiveness di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, antara lain:
– Kekakuan regulasi, karena undang-undang tidak secara langsung memfasilitasi penghapusan utang pasca-pailit.
– Penolakan sebagian kreditur, karena penghapusan utang dapat menimbulkan kerugian material.
– Belum adanya mekanisme discharge, sehingga debitur tetap menanggung beban hukum bahkan setelah harta pailit dibagi habis.

Namun, urgensinya semakin mengemuka di tengah meningkatnya kasus kepailitan akibat krisis finansial global, pandemi, dan ketidakpastian ekonomi.

6. Komparasi dengan Sistem Hukum Lain

Di Amerika Serikat, Chapter 7 Bankruptcy mengizinkan penghapusan utang pribadi sepenuhnya setelah proses likuidasi. Di Eropa, negara seperti Jerman dan Prancis mulai mengadopsi prinsip fresh start dengan memperbolehkan penghapusan utang setelah periode tertentu bagi debitur yang bersikap jujur dan kooperatif.

Indonesia dapat mengambil pelajaran dari praktik internasional tersebut untuk memperkuat asas rehabilitatif dalam sistem kepailitannya.

Kesimpulan

Meskipun belum diatur secara eksplisit, asas Debt Forgiveness memiliki dasar filosofis dan praktis yang kuat untuk diterapkan dalam konteks kepailitan di Indonesia. Implementasinya secara terbatas melalui skema PKPU membuka jalan bagi pengembangan hukum yang lebih berorientasi pada pemulihan dan keadilan.

Werkudoro & Partner Law Firm merekomendasikan agar legislator mempertimbangkan pengakuan eksplisit atas prinsip ini dalam reformasi hukum kepailitan sebagai bentuk harmonisasi dengan praktik global dan perlindungan debitur yang beritikad baik.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top