Relevansi dan Dinamika Hukum Perdata di Indonesia: Studi Kasus Sengketa Wanprestasi dalam Perjanjian Jual Beli Properti

Pendahuluan

Hukum perdata merupakan salah satu pilar utama dalam sistem hukum Indonesia yang mengatur hubungan antarindividu dalam berbagai aspek kehidupan, seperti perjanjian, kekayaan, keluarga, dan waris. Di antara seluruh cabangnya, hukum perikatan memainkan peran sentral, khususnya dalam urusan kontraktual.

Salah satu permasalahan yang kerap muncul dalam praktik hukum perdata adalah wanprestasi, yaitu pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh salah satu pihak. Artikel ini mengupas aspek teoritis hukum perdata perikatan dan menganalisis studi kasus sengketa jual beli properti yang membawa persoalan wanprestasi ke ranah pengadilan.

Bagian I: Teori Dasar Hukum Perdata – Fokus pada Perikatan dan Wanprestasi

1.1 Definisi Perikatan

Menurut Pasal 1233 KUHPer, perikatan lahir karena persetujuan (perjanjian) atau undang-undang. Dalam praktik, sebagian besar perikatan lahir dari perjanjian antara dua pihak atau lebih. Setiap perjanjian melahirkan hak dan kewajiban timbal balik.

1.2 Unsur Sahnya Perjanjian (Pasal 1320 KUHPer)

  • Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
  • Cakap untuk membuat suatu perikatan
  • Suatu hal tertentu
  • Sebab yang halal

Jika satu unsur tidak terpenuhi, perjanjian bisa batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

1.3 Pengertian dan Jenis Wanprestasi

Wanprestasi adalah perbuatan ingkar janji atau pelanggaran terhadap kewajiban yang telah disepakati dalam sebuah perjanjian atau kontrak. Dalam bahasa hukum, wanprestasi berarti tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban dalam sebuah perikatan

Wanprestasi terjadi ketika debitur:

  • Tidak melakukan apa yang dijanjikan
  • Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu
  • Melaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya
  • Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan

Sanksi wanprestasi dapat berupa:

  • Pemenuhan prestasi
  • Ganti rugi
  • Pembatalan perjanjian
  • Peralihan risiko

Bagian II: Studi Kasus Sengketa Wanprestasi dalam Perjanjian Jual Beli Properti

2.1 Kronologi Kasus

Kasus: Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 712/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Sel

  • Penggugat (A) adalah pembeli rumah seharga Rp2,5 miliar dari Tergugat (B) yang berstatus developer.
  • Para pihak menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada 5 Januari 2020.
  • Dalam perjanjian, B berjanji menyerahkan unit rumah paling lambat 6 bulan sejak penandatanganan, atau Juni 2020.
  • Hingga Desember 2020, unit tidak kunjung diserahterimakan dengan alasan perizinan dan pandemi.
  • A mengirim somasi pada Januari 2021, tetapi tidak direspons.
  • A akhirnya menggugat B ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas dasar wanprestasi.

2.2 Argumen Penggugat

  • B telah gagal menyerahkan rumah sesuai waktu yang dijanjikan, tanpa adanya kesepakatan perubahan jadwal.
  • A mengalami kerugian material dan immaterial, termasuk biaya sewa tempat tinggal sementara.
  • Penggugat meminta pengembalian uang beserta bunga, ganti rugi, dan pembatalan perjanjian.

2.3 Argumen Tergugat

  • Mengklaim adanya keadaan kahar (force majeure) akibat pandemi Covid-19.
  • Menyatakan proyek tertunda karena pembatasan kegiatan dan masalah izin yang di luar kendali.
  • Menolak permintaan pengembalian uang, dan menyatakan proyek tetap berjalan.

2.4 Putusan Pengadilan

  • Majelis hakim menyatakan bahwa pandemi bukan sepenuhnya alasan sah force majeure, karena:
    • Tidak ada bukti bahwa tergugat telah berusaha maksimal menyelesaikan proyek.
    • Tidak ada pemberitahuan resmi atau perubahan kesepakatan.
  • Hakim menyatakan tergugat wanprestasi dan menghukum tergugat untuk:
    • Mengembalikan uang sebesar Rp2,5 miliar kepada penggugat.
    • Membayar ganti rugi immaterial sebesar Rp200 juta.
    • Menanggung biaya perkara.

Bagian III: Analisis Yuridis

3.1 Relevansi Pasal-Pasal KUHPerdata

  • Pasal 1238 KUHPer: Debitur dianggap lalai dengan surat peringatan (somasi) A. telah melakukan ini pada Januari 2021.
  • Pasal 1243 KUHPer: Ganti rugi hanya bisa dituntut jika debitur lalai dan tidak melaksanakan prestasi.
  • Pasal 1244-1245 KUHPer: Debitur dapat dibebaskan dari kewajiban ganti rugi jika ada force majeure. Namun dalam kasus ini, force majeure tidak terbukti cukup kuat.

3.2 Tanggapan terhadap Force Majeure

Meski pandemi bisa menjadi keadaan kahar, pengadilan menilai bahwa force majeure harus dibuktikan secara konkret dan diberitahukan kepada pihak lain secara formal. Dalam kasus ini, tidak ada bukti bahwa tergugat telah:

  • Mengupayakan renegosiasi
  • Memberikan pemberitahuan resmi tentang penundaan
  • Menunjukkan usaha penyelesaian

3.3 Prinsip Itikad Baik

Pasal 1338 ayat (3) KUHPer mengharuskan perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. Sikap pasif tergugat dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap asas ini, memperkuat dalil wanprestasi.

Bagian IV: Implikasi Hukum dan Praktis

4.1 Pentingnya Kepastian Hukum dalam Kontrak

Kasus ini menekankan perlunya mencantumkan force majeure clause yang jelas dan mekanisme renegosiasi dalam kontrak. Banyak pelaku usaha lalai mencantumkan ketentuan detail mengenai keadaan kahar dan konsekuensinya.

4.2 Hak Konsumen dalam Perjanjian Baku

Perjanjian jual beli properti sering disusun oleh pihak pengembang dengan format baku yang memberatkan konsumen. Ke depan, peran UU Perlindungan Konsumen dan pengawasan notaris menjadi sangat penting untuk menghindari ketimpangan hubungan hukum.

4.3 Konteks Pandemi dan Hukum Perdata

Pandemi membuka diskursus tentang bagaimana hukum perdata dapat mengantisipasi krisis global. Yurisprudensi kasus ini menunjukkan bahwa:

  • Force majeure tidak berlaku otomatis
  • Pengadilan akan melihat fakta usaha maksimal dan komunikasi hukum antar pihak

Kesimpulan

Hukum perdata, khususnya dalam konteks perikatan dan wanprestasi, terus berkembang seiring kompleksitas hubungan hukum antarindividu dan korporasi. Studi kasus sengketa jual beli properti di atas menggambarkan pentingnya kejelasan perjanjian, komunikasi hukum yang baik, dan pembuktian itikad baik dalam pelaksanaan kontrak.

Pengadilan Indonesia semakin kritis dalam menilai alasan wanprestasi, terutama terhadap dalih force majeure. Ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak dalam menyusun dan melaksanakan kontrak agar lebih berhati-hati, transparan, dan adaptif terhadap dinamika eksternal.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top