Pendahuluan
Kasus korupsi yang melibatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) menjadi sorotan publik setelah Kejaksaan Agung menetapkan mantan Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas kredit dari beberapa bank, yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp692 miliar . Kasus ini membuka tabir lemahnya tata kelola perusahaan dan pengawasan perbankan di Indonesia
Kronologi Kasus
Pada tahun 2021, Sritex mengalami gagal bayar atas utang obligasi dan pinjaman sindikasi internasional. Perusahaan kemudian mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga Semarang. Namun, pada tahun 2024, Sritex dinyatakan pailit dengan total utang mencapai Rp29,8 triliun
Penyelidikan Kejaksaan Agung mengungkap bahwa Sritex menerima fasilitas kredit dari Bank BJB sebesar Rp543,98 miliar dan dari Bank DKI sebesar Rp149,01 miliar. Namun, pemberian kredit tersebut diduga melanggar prinsip kehati-hatian perbankan, karena tidak didasarkan pada analisis yang memadai dan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Analisis Hukum
1. Penyalahgunaan Fasilitas Kredit
Pemberian kredit oleh Bank BJB dan Bank DKI kepada Sritex diduga tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian perbankan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Kredit diberikan tanpa analisis risiko yang memadai, meskipun Sritex memiliki peringkat BB- yang menunjukkan risiko tinggi gagal bayar.
2. Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, direksi dan komisaris memiliki tanggung jawab fidusia untuk menjalankan perusahaan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dalam kasus ini, Iwan Setiawan Lukminto diduga menyalahgunakan dana kredit untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif, yang tidak sesuai dengan tujuan awal pemberian kredit.
3. Kerugian Negara dan Pertanggungjawaban Pidana
Akibat dari penyalahgunaan fasilitas kredit tersebut, negara mengalami kerugian sebesar Rp692 miliar. Tindakan ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Kepailitan Sritex berdampak signifikan terhadap perekonomian dan sosial, terutama di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Sebanyak 11.025 karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) secara bertahap sejak Agustus 2024 hingga Februari 2025 . Selain itu, banyak kreditur, termasuk bank dan pemasok, mengalami kerugian finansial yang besar.
Rekomendasi
- Penguatan Pengawasan Perbankan: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu memperketat pengawasan terhadap pemberian kredit oleh bank, terutama dalam hal analisis risiko dan kepatuhan terhadap prinsip kehati-hatian.
- Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas Perusahaan: Perusahaan publik harus meningkatkan transparansi dalam pelaporan keuangan dan pengelolaan utang, serta memastikan akuntabilitas direksi dan komisaris.
- Penegakan Hukum yang Tegas: Aparat penegak hukum harus menindak tegas pelaku tindak pidana korupsi, termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam penyalahgunaan fasilitas kredit.
Penutup
Kasus korupsi Sritex menjadi cerminan nyata lemahnya tata kelola perusahaan dan pengawasan perbankan di Indonesia. Diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem perbankan dan tata kelola perusahaan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.