Pendahuluan
Kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang paling tersembunyi namun paling merusak. Bentuk kekerasan ini tidak hanya menyerang tubuh korban, tetapi juga martabat, integritas, dan psikologisnya. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kekerasan seksual kerap dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Hal ini menyebabkan banyak kasus tidak dilaporkan, dan korban sering kali mengalami reviktimisasi, yaitu disalahkan atau dijatuhkan martabatnya setelah menjadi korban.
Fenomena kekerasan seksual dapat terjadi di semua lapisan masyarakat tanpa memandang usia, jenis kelamin, kelas sosial, atau latar belakang budaya. Pelakunya bisa siapa saja: orang asing, teman, bahkan keluarga sendiri. Oleh karena itu, pemahaman yang menyeluruh dan pendekatan yang holistik sangat diperlukan untuk menangani masalah ini secara serius.
Definisi Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual dapat didefinisikan sebagai segala bentuk tindakan seksual yang dilakukan terhadap seseorang tanpa persetujuan yang sah, bebas, dan tanpa paksaan. Kekerasan ini mencakup tindakan yang bersifat fisik maupun non-fisik, verbal maupun visual, serta yang dilakukan secara langsung maupun melalui teknologi digital.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kekerasan seksual adalah “setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lain terhadap tubuh, hasrat seksual, dan/atau fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender.”
III. Jenis-Jenis Kekerasan Seksual
Berdasarkan UU TPKS, kekerasan seksual meliputi berbagai bentuk tindakan. Beberapa di antaranya adalah:
- Pelecehan seksual non-fisik, seperti komentar bernuansa seksual, catcalling, atau pelecehan verbal.
- Pelecehan seksual fisik, berupa sentuhan tidak diinginkan pada tubuh korban.
- Eksploitasi seksual, yaitu pemanfaatan tubuh seseorang untuk tujuan komersial atau keuntungan pribadi.
- Perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual dalam berbagai bentuk.
- Perbudakan seksual, yaitu penguasaan tubuh seseorang untuk tujuan seksual berulang.
- Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, biasanya dalam relasi kuasa yang timpang.
- Tindak kekerasan seksual berbasis teknologi, seperti penyebaran konten intim tanpa izin (revenge porn), sextortion, dan penguntitan digital.
Sanksi Pidana dalam UU TPKS :
UU TPKS mengatur sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. Misalnya:
- Pelecehan seksual non-fisik (Pasal 5) diancam pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak Rp10 juta.
- Eksploitasi seksual (Pasal 7) diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.
- Perkosaan (Pasal 10) diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp300 juta.
Sanksi pemberat juga dapat dikenakan bila pelaku adalah orang terdekat korban (misalnya orang tua, guru, atasan), atau jika kekerasan menyebabkan korban meninggal dunia, mengalami gangguan jiwa permanen, atau jika dilakukan secara berulang.
Dampak Kekerasan Seksual
Dampak dari kekerasan seksual sangat luas dan kompleks, mencakup berbagai aspek berikut:
1. Dampak Psikologis
Korban sering mengalami trauma mendalam, depresi, kecemasan, gangguan tidur, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD). Dalam kasus yang ekstrem, korban dapat mengalami keinginan untuk bunuh diri.
2. Dampak Sosial
Korban dapat mengalami pengucilan sosial, stigma, bahkan kehilangan pekerjaan atau pendidikan. Dalam masyarakat patriarkal, korban sering dianggap sebagai “pihak yang salah.”
3. Dampak Fisik dan Reproduksi
Tindakan kekerasan seksual dapat menyebabkan luka fisik, kehamilan yang tidak diinginkan, dan infeksi menular seksual (IMS).
4. Dampak Hukum dan Ekonomi
Korban sering kali tidak mendapatkan keadilan karena sulitnya proses hukum dan biaya yang besar. Ini semakin memperburuk kondisi korban secara ekonomi dan mental.
Aspek Hukum Kekerasan Seksual di Indonesia
Dengan diundangkannya UU TPKS Tahun 2022, Indonesia memiliki kerangka hukum yang lebih lengkap untuk menangani kekerasan seksual. UU ini meliputi:
1. Pengakuan atas Berbagai Bentuk Kekerasan Seksual
UU TPKS mengakui kekerasan seksual sebagai kejahatan serius yang tidak hanya melibatkan fisik, tapi juga kekerasan berbasis teknologi dan kekerasan dalam relasi personal.
2. Proses Hukum yang Berpihak pada Korban
Korban berhak mendapat pendampingan hukum, rehabilitasi medis dan psikologis, serta perlindungan dari intimidasi.
3. Sanksi Pidana yang Tegas
Pelaku dapat dikenakan hukuman penjara hingga 15 tahun tergantung jenis kekerasannya, serta denda yang mencapai miliaran rupiah.
4. Restitusi dan Kompensasi
UU ini juga mengatur bahwa korban berhak atas restitusi (ganti rugi dari pelaku) dan kompensasi (dari negara jika pelaku tidak mampu).
Perlindungan dan Hak Korban
UU TPKS memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi korban, mencakup:
- Hak atas Perlindungan dan Pendampingan
- Termasuk pendampingan hukum, psikologis, medis, dan sosial sejak pelaporan hingga pemulihan pasca-kejadian.
- Hak atas Keadilan Restoratif dan Kompensasi
- Korban berhak atas restitusi dari pelaku dan kompensasi dari negara apabila pelaku tidak mampu.
- Layanan Terpadu untuk Korban
- Didirikannya Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) untuk memberikan layanan terpadu, seperti rumah aman, konseling, dan bantuan hukum.
Tantangan dalam Penegakan Hukum
Meski undang-undangnya telah ada, berbagai hambatan masih ditemukan di lapangan:
- Stigma dan budaya menyalahkan korban (victim blaming)
- Ketakutan korban untuk melapor, karena malu atau tidak percaya pada aparat
- Kurangnya pelatihan gender-sensitif bagi penegak hukum
- Minimnya layanan pendukung korban di daerah terpencil
Oleh karena itu, penegakan hukum harus dibarengi dengan pendekatan kultural, edukasi publik, dan penguatan lembaga layanan korban.
Upaya Pencegahan dan Peran Masyarakat
Pencegahan kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan hukum. Diperlukan upaya kolaboratif dari semua pihak:
- Edukasi Seksual Sejak Dini: Pendidikan seksual komprehensif harus diajarkan sejak sekolah dasar dengan cara yang sesuai usia.
- Pemberdayaan Perempuan dan Anak: Mereka harus dibekali pemahaman akan hak-haknya dan cara melindungi diri.
- Keterlibatan Laki-Laki: Pencegahan kekerasan seksual bukan hanya tanggung jawab perempuan. Laki-laki juga harus menjadi bagian dari solusi.
- Peningkatan Kesadaran Publik: Media massa, influencer, dan komunitas harus dilibatkan dalam mengedukasi masyarakat tentang consent, relasi sehat, dan pentingnya menghormati tubuh orang lain.
Kesimpulan
Kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan serius yang mengancam hak, martabat, dan masa depan korban. Melalui pengesahan UU TPKS, Indonesia telah mengambil langkah besar dalam melindungi korban dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku. Namun, perubahan sejati tidak hanya bisa dilakukan melalui hukum, tetapi juga lewat perubahan budaya, pendidikan, dan kesadaran kolektif.
Diperlukan kerja sama lintas sektor pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, media, dan individu untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Sudah saatnya kita semua berhenti menyalahkan korban, dan mulai berdiri di pihak mereka.